Ingin pandai berbahasa Inggris dengan cepat dan biaya murah? Datanglah ke dua desa di Kediri. Di sana, tersedia ratusan lembaga kursus bahasa Inggris. Dijamin, dalam 3 bulan sudah cas cis cus berbahasa Inggris.
“Hello guys, how’s life?”
“Everything is running good. And you?”
“Fine.”
Itulah percakapan yang terjadi antara seorang gadis remaja dan teman-temannya di sebuah warung sederhana di Desa Tulungrejo, sekitar 20 Km dari Kota Kediri. Jangan heran jika di desa itu menemui anak-anak ber-cas-cis-cus dalam bahasa Inggris. Entah itu di warung atau tempat nongkrong anak-anak muda. Mulai percakapan dengan topik serius, sampai banyolan, semua dilafalkan dalam bahasa Inggris.
Tentu saja tak semua bisa bicara Inggris dengan lancar. Maklum, baru belajar. Selain kosakatanya masih minim, pengucapannya juga terkesan belepotan. Tapi semangat mereka untuk bisa berbicara dalam bahasa internasional itu, luar biasa men-cengangkan. Itu pula sebabnya dua desa di Kabupaten Pare itu, Desa Tulungrejo dan Singgahan, dijuluki “Kampung Inggris”.
Luar Pulau
Tak semua penduduk Kampung Inggris adalah penduduk asli, karena banyak juga pendatang yang sengaja “mondok” di sana demi belajar bahasa Inggris. Di dua desa itu, terdapat 100 tempat kursus bahasa Inggris. Mulai dari yang besar sampai kecil. Para siswa datang dari berbagai pelosok Indonesia seperti Papua, NTT, bahkan Timor Leste. “Saya juga heran. Padahal, kalau untuk penduduk setempat, kursusnya gratis. Dari 100 siswa saya, cuma dua yang asli Pare,” kata Achmad Al-Faruqi (26).
Kata Faruqi, sudah lama Kampung Inggris jadi rujukan banyak orang untuk mendalami bahasa Inggris. Menurut pria asal Riau ini, siswa yang datang mulai dari jebolan SMU hingga lulusan pascasarjana yang ingin meraih gelar doktor. ”Ada juga yang ingin memperlancar percakapan sebagai bekal kerja di luar negeri.”
Di tempat kursusnya, lanjut Faruqi, selain diajari tata bahasa, struktur, “Yang penting adalah percakapan. Banyak yang pintar bahasa asing tapi kurang dalam soal percakapan. Makanya, kebanyakan yang datang ke sini ingin bisa berkomunikasi lancar,” kata pemuda jebolan Pondok Pesantren Gontor ini.
Tak heran jika sehari-hari, siswa diharuskan berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Bahkan, jika sudah memasuki kursus bulan kedua siswa yang tidak menggunakan bahasa Inggris, “Kami minta keluar sebab nanti akan merusak sistem,” ujar Abdul Rohim (27).
Soal gagap atau belepotan, “Tak masalah. Toh, para pengajar akan menuntun mereka.”
Murah & Cepat Bisa
Alasan lain orang berbondong-bondong menuntut ilmu bahasa
Setelah belajar di Pare, mereka makin pede bicara Inggris.
Inggris ke Pare, karena biaya yang amat murah. Untuk jadwal belajar sehari tiga hingga lima kali, biayanya hanya Rp 60 ribu sampai Rp 100 Ribu. ”Kalau di tempat lain, pasti jutaan rupiah,” kata Faruqi.
Mengingat pelajar kebanyakan datang dari luar daerah maupun pulau, disediakan pula sarana pondokan atau kos. Untuk tarif kursus plus kos, Rp 250 ribu per bulan. “Kalau hanya kursus, cuma Rp 80 ribu. Soalnya, jika mondok, belajarnya bisa lebih intensif lagi. Selain lima kali belajar, selama berada di sini, dilarang menggunakan bahasa selain Inggris. Makanya, cukup tiga bulan di sini, hampir pasti sudah bisa berkomunikasi lancar,” ujar Faruqi yang sudah memiliki tiga kontrakan rumah sebagai tempat pondokan sekaligus kelas siswa.
Dengan biaya semurah itu, ya, jangan bayangkan tempat mewah, sejuk, serta wangi. Meski ada tempat kursus yang menyediakan bangku, tak jarang ketika kursus hanya lesehan di atas tikar sederhana dengan papan tulis. Pakaian para siswa pun seadanya. “Kami tidak mengutamakan penampilan, yang penting kualitas,” tutur Faruqi yang sudah meluluskan sekitar 500 siswa.
Patokan tiga bulan sudah bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris, dirasakan Fitri (17), Feny (18), dan Yusri (19). “Sistem pengajarannya bikin kami cepat bisa. Tiap hari dicekoki dan harus bicara dalam bahasa Inggris, ya, lama-lama bisa. Sekarang saya sudah pede kalau bicara,” ujar Yusri, gadis dari Pelambang. Sementara Feny dan Fitri berencana menjadi pengajar bahasa Inggris. “Kalau lulus tes, kami bisa jadi guru bantu di pondok-pondok pesantren.”
Opi (kanan) terpaksa cuti kuliah untuk memperdalam bahasa Inggris.
Sedangkan Opi Yawulan (22), mahasiswa semester empat dari PTN di Bandung Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, sengaja cuti dari kampusnya selama satu semester untuk belajar di salah satu lembaga kursus di sana. “Alhamdulillah saya menemukan tempat ini. Meski saya kuliah di Sastra Inggris, di sini jauh lebih bagus teknik pengajarannya ketimbang di kampus. Di sini, struktur bahasa itu dipreteli satu persatu sampai kita benar-benar paham,” kata Opi yang membayar tak lebih dari Rp 200 ribu per bulan untuk biaya kursus plus pondokan. “Padahal, tempat kos saya untuk ukuran di sini sudah paling mewah.”
GANDHI WASONO M.
Sumber: http://www.facebook.com/group.php?gid=72993167366#/group.php?gid=72993167366
0 comments:
Post a Comment